Rabu, 07 Juli 2021

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI | TM 14 TUGAS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI #

 Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Allysa Fatma Indriani


A. Pengertian Sengketa

Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan pleh pihak lain.  Perasaan tidak puas akan muncul kepermukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, akan terjadilah apa yang dinamakan sengketa.

Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan/litigasi dan arbitrase/perwasitan, serta proses penyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi dan mediasi.


B. Cara-Cara Penyelesaian Sengketa

Mekanisme penyelesaian sengketa di bagi atas dua yakni penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa tidak melalui pengadilan (non litigasi). Indonesia sebagai suatu Negara yang terdiri atas berbagai macam ragam suku dan budaya, memiliki cara berbeda-beda dalam menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi kepada mereka. Secara garis besar, masyarakat pada umumnya menyelesaikan sengketa yang terjadi dengan cara bermusyawarah dan menjadikan petua adat atau orang-orang yang dituakan sebagai penengah atas sengketa yang di hadapi. Seiring dengan perkembangan zaman, penyelesaian sengketa pada masyarakat secara perlahan-lahan mulai dipengaruhi oleh budaya barat yang menekankan bahwa penyelesaian sengketa harus ditempuh melalui pengadilan.

Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan

1. Negosiasi

Merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan sama maupun berbeda.  Negosiasi adalah sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiksusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), negosiasi diartikan sebagai penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa.

Melalui negosiasi para pihak yang bersengketa dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa dengan suatu situasi yang sama-sama menguntungkan, dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik. Kesepakatan yang telah dicapai kemudian dituangkan secara tertulis untuk ditandatangani dan dilaksanakan oleh para pihak.

Namun proses negosiasi dalam penyelesaian sengketa terdapat beberapa kelemahan. Yang pertama ialah ketika kedudukan para pihak yang tidak seimbang. Pihak yang kuat akan menekan pihak yang lemah. Yang kedua ialah proses berlangsungnya negosiasi acap kali lambat dan bisa memakan waktu yang lama. Yang ketiga ialah ketika suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya.

2. Mediasi

Merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa yang melibatkan pihak   ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.  Pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan mediator.  Mediasi mengandung unsur-unsur :

  • Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
  • Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan.
  • Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.
  • Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.

Tugas Mediator antara lain :

  • Bertindak sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan.
  • Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan pendapat yang timbul (penyesuaian persepsi) sehingga mengarahkan kepada satu keputusan bersama.

3. Arbitrase

Menurut beberapa ahli :

  • Subekti : merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih.
  • Abdulkadir Muhamad : peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa.
  • Pasal 3 ayat 3 UU No 14 tahun 1970 menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrsase tetap diperbolehkan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.

Dasar Hukum Arbitrase :

UU arbitrase nasional : UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.  Berdasarkan UU tersebut, Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum, yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Penjanjian arbitrase tidak batal meskipun :

  • Meninggalnya salah satu pihak.
  • Bangkrutnya salah satu pihak.
  • Novasi (Pembaharuan utang)
  • Insolvensi (keadaan tidak mampu membayar)salah satu pihak.
  • Pewarisan.
  • Berlakunya syarat-syarat hapusnya peikatan pokok.
  • Bilamana pelaksanaan perjanjian dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase.
  • Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Jenis Arbitrase :

  • Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter : merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu.
  • Arbitrase institusional : merupakan suatu lembaga yang bersifat permanen sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya, meskipun perselisihan telah selesai. 

Di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase, yaitu :

  • Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
  • Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).                     

4. Konsultasi

Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Peran dari konsultan dalam penyelesaian sengketa tidaklah dominan, konsultan hanya memberikan pendapat (hukum), sebagaimana yang diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan diberi kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

Dengan adanya perkembangan zaman, konsultasi dapat dilakukan dengan secara langsung maupun dengan menggunakan teknologi komunikasi yang telah ada. Konsultasi dapat dilakukan dengan cara klien mengajukan sejumlah pertanyaan kepada konsultan. Hasil konsultasi berupa saran yang tidak mengikat secara hukum, artinya saran tersebut dapat digunakan atau tidak oleh klien, tergantung kepentingan masing-masing pihak. 

5. Konsiliasi

Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (konsiliator) yang bersifat aktif dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkahlangkah penyelesaian yang selanjutnya diajukan dan ditawarkan kepada para pihak yang bersengketa. Konsiliator tidak berwenang membuat keputusan tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi yang peaksanaannya sangat tergantung dari itikad baik para pihak yang bersengketa.18 Hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:

  • Tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai.
  • Setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.

Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Pengadilan / Litigasi

Penyelesaian sengketa secara kontroversional dilakukan melalui suatu badan pengadilan sudah dilakukan sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, akan tetapi lama kelamaan badan pengadilan ini semakin terpasung dalam tembok yuridis yang sukar ditembusi oleh pencari keadilan khususnya apabila pelaku pencari keadilan adalah pebisnis dengan sengketa menyangkut bisnis sehingga mulailah dipikirkan suatu alternative lain untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.

Ada beberapa kelemahan penyelesaian sengketa secara litigasi:

  • Penyelesaiannya sangat lambat
  • Biaya perkara mahal
  • Peradilan pada umumnya tidak responsive
  • Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah.

Penyelesaian sengketa memiliki beberapa ketentuan yang patut diperhatiakan:

  • Waktu penyelesaian perkara
  • Pemanggilan para pihak
  • Kualifikasi hakim
  • Pembuktian
  • Kepastian tentang kewenangan mengadili pengadilan agama
  • Sumber-sumber hukum.

Kelebihan penyelesaian sengketa melalui pengadilan ialah ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini). Kelemahan penyelesaian sengketa melalui pengadilan ialah kurangnya kepastian hukum dan hakim yang awam (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum)


C. Perbandingan Antara Perundingan, Arbitrase, dan Litigasi

Perbandingan Antara Perundingan, Arbitrase, dan Litigasi sebagai berikut :

Proses

Perundingan

Arbitrase

Litigasi

Yang mengatur

Para pihak

Arbiter

Hakim

Prosedur

Informal

Agak formal sesuai dengan rule

Sangat formal dan teknis

Jangka waktu

Segera ( 3-6 minggu )

Agak cepat ( 3-6 bulan )

Lama ( > 2 tahun )

Biaya

Murah ( low cost )

Terkadang sangat mahal

Sangat mahal

Aturan pembuktian

Tidak perlu

Agak informal

Sangat formal dan teknis

Publikasi

Konfidensial

Konfidensial

Terbuka untuk umum

Hubungan para pihak

Kooperatif

Antagonistis

Antagonistis

Fokus penyelesaian

For the future

Masa lalu

Masa lalu

Metode negosiasi

Kompromis

Sama keras pada prinsip hukum

Sama keras pada prinsip hukum

Komunikasi

Memperbaiki yang sudah lalu

Jalan buntu

Jalan buntu

Result

win-win

Win-lose

Win-lose

Pemenuhan

Sukarela

Selalu ditolak dan mengajukan oposisi

Ditolak dan mencari dalih

Suasana emosinal

Bebas emosi

Emosional

Emosi bergejolak


Jadi dapat disimpulkan, arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi). Dengan demikian, alternatif penyelesaian sengketa bukan merupakan bagian dari lembaga litigasi meskipun dalam perkembangannya adapula yang menjadi bagian dari proses litigasi, yaitu mediasi. Sedangkan litigasi itu adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.


Contoh Kasus Sengketa Ekonmi

Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI dan Avanti Communications Ltd.

Pada 6 Juni 2018, pengadilan arbitrase di bawah lembaga London Court of International Arbitration (LCIA) memutuskan Avanti berhasil memenangkan perkara melawan Kemenhan RI. Proses arbitrasi ini terkait dengan pembayaran sewa satelit ARTEMIS Avanti oleh Indonesia.

Kasus ini bermula saat Avanti memosisikan Satelit Artemis di Slot Orbit 123° BT sejak 12 November 2016 untuk mengantisipasi kehilangan hak spektrum L-band. Indonesia lebih dulu mengisi slot tersebut lewat Satelit Garuda-1 selama 15 tahun sampai berhenti mengorbit pada 2015. Menurut informasi, Indonesia sudah berkomitmen membayar US$30 juta ke pihak Avanti sebagai biaya sewa dan relokasi satelit. Namun, Indonesia berhenti melakukan pembayaran setelah Avanti menerima US$13,2 juta.

Akhirnya, Agustus 2017 Avanti menggugat Indonesia melalui jalur arbitrase dan resmi mematikan ARTEMIS pada November 2017. Atas gugatan tersebut, Indonesia melalui Kemenhan RI wajib membayar kerugian yang dialami Avanti sebesar US$20,075 juta selambatnya 31 Juli 2018.


DAFTAR PUSTAKA


Widi. 2018. Penyelesaian Sengketa Ekonomi. http://widi.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files /91182/M14+Penyelesaian+sengketa+ekonomi.pptx. (Diakses tanggal 07 Juli 2021)

Hanif. Rifqani Nur Fauziah.2020. Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/13628/Arbitrase-Dan-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.html. (Diakses tanggal 07 Juli 2021)

Rosmini. 2019. Penyelesaian Persengketaan Dalam Bidang Ekonomi. http://repositori.uin-alauddin.ac.id/15716/1/revisi%20PENYELESAIAN%20PERSENGKETAAN%20DALAM%20BIDANG%20EKONOMI%20rosmini.pdf. (Diakses tanggal 07 Juli 2021)

Fikaamalia. 2011. Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase dan Litigasi.  https://fikaamalia.wordpress.com/2011/04/15/perbandingan-antara-perundingan-arbitrase-dan-litigasi/. (Diakses tanggal 07 Juli 2021)


Selasa, 06 Juli 2021

HAL YANG DIKECUALIKAN DALAN UU ANTI MONOPOLI DAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) | TM13 TUGAS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI #

 Hal yang Dikecualikan dalan UU anti Monopoli dan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) serta Sanksi

Allysa Fatma Indriani


    Undang-Undang Antimonopoli, mendefinisikan monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (Pasal 1 butir 1). Sementara yang dimaksud dengan praktek monopoli itu sendiri adalah kegiatan yang memusatkan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa tertentu sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum (Pasal 1 ayat (2)). Sementara itu dalam UndangUndang Antimonopoli juga memberikan definisi mengenai persaingan usaha tidak sehat yaitu persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha (Pasal 1 ayat (6)).

A. Hal – hal yang dikecualikan dalan UU Anti Monopoli

Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999, terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu :

Pasal 50

perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

  1. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
  2. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
  3. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
  4. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
  5. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
  6. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
  7. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
  8. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya

Pasal 51

Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

 

B. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

    Dalam dunia bisnis, diantara para penjual dalam merebut pembeli dan pangsa pasar diwarnai dengan persaingan. Untuk itu kebijakan dalam bentuk Undang-Undang Antimonopoli ini, oleh pemerintah dianggap penting untuk diluncurkan, dengan tujuan (Pasal 3 Undang-Undang Antimonopoli) sebagai berikut:

  1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
  2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
  3. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
  4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

    Melihat dari tujuan yang akan dicapai oleh pemerintah Indonesia ini, kebijakan mengeluarkan Undang-Undang Antimonopoli ini, diharapkan mampu mengatasi krisis ekonomi yang selama ini terjadi. Langkah selanjutnya, guna mengawal dikeluarkannya Undang-Undang Antimonopoli ini, agar bisa mencapai tujan, maka dibentuklah sebuah komisi yaitu “Komisi Pengawas Persaingan Usaha” (yang selanjutnya disingkat dengan “KPPU”) yang terlegitimasi melalui Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Komisi ini merupakan instruksi Pasal 34 Undang-Undang Antimonopoli, di mana dalam Pasal ini memberikan amanat agar membentuk susunan organisasi, tugas dan fungsi komisi melalui keputusan presiden. Berdasarkan keputusan presiden ini, KPPU diberikan tugas (Pasal 35) dan wewenang (Pasal 36) yang sangat besar yang meliputi juga kewenangan yang dimiliki lembaga peradilan, yaitu meliputi penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Dengan kata lain, KPPU merupakan state auxiliay yang dibentuk pemerintah dengan sifat independen untuk menjalankan peran di garda paling depan dalam rangka penegakan hukum terhadap praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia (Rachmadi Usman 2004).

    Peran KPPU dalam rangka penegakan hukum terhadap praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia dapat dicermati dari berbagai upaya dan usaha yang dilakukan, salah satunya adalah penangan perkara terkait dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Terhitung sejak tahun berdiri tahun 1999, KPPU berhasil menangani sebanyak 256 kasus yang sudah in kracht. Adapun data dari 256 kasus tersebut dapat dirinci mulai tahun 2000 sebanyak 2 kasus, tahun 2001 sebanyak 4 kasus, tahun 2002 sebanyak 4 kasus, tahun 2003 sebanyak 7 kasus, tahun 2004 sebanyak 7 kasus, tahun 2005 sebanyak 10 kasus, tahun 2006 sebanyak 12 kasus, tahun 2007 sebanyak 27 kasus, tahun 2008 sebanyak 48, tahun 2009 sebanyak 38 kasus, tahun 2010 sebanyak 36 kasus, tahun 2011 sebanyak 13 kasus, tahun 2012 sebanyak 9 kasus , tahun 2013 sebanyak 12 kasus, tahun 2014 sebanyak 19 kasus, dan tahun 2015 sebanyak 5 kasus (Portal KPPU RI).

    Melihat data tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa kasus monopoli danpersaingan usaha tidak sehat, yang masuk ke KPPU tampak fluktuaktif dan berkesinambungan terus menerus dari tahun ke tahun. Dengan banyaknya kasus tersebut dan juga guna mengantisipasi semakin kompleksnya aktivitas bisnis dalam berbagai bidang dengan modifikasi strategi dalam memenangkan persaingan antar kompetitor, maka dibutuhkan peran dari KPPU sebagai petugas pengawas dalam elaborasi pasar agar tidak terjadi persaingan usaha yang tidak sehat dalam rangka menjaga kepentingan umum, meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan iklim usaha yang kondusif (Ayudha D. Prayoga, et al., 2000). Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji secara lebih mendalam dengan topik “Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Rangka Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia (Suatu Kajian Normatif).


C. Sanksi

    KPPU berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah telah menerbitkan 49 aturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Salah satu poin yang menjadi perhatian utama dalam aturan tersebut mengenai sanksi besaran denda bagi pelaku usaha.

    Aturan tersebut menyatakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Bentuk pemberian sanksi administratif tersebut yaitu penetapan pembatalan perjanjian, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal, menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli menyebabkan persaingan usaha tidak sehat maupun merugikan masyarakat. KPPU juga berwenang memerintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan dan penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham. Dan mengenakan denda paling sedikit Rp 1 miliar dengan memperhatikan ketentuan mengenai besaran denda sebagaimana diatur PP 44/2021.

Sesuai Pasal 47 UU No. 5/1999, KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 17, berupa:

  1. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat (Pasal 47 ayat (2) butir c); dan/atau
  2. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan (Pasal 47 ayat (2) butir d); dan/atau
  3. penetapan pembayaran ganti rugi ( Pasal 47 ayat (2) butir f); dan/atau
  4. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) (Pasal 47 ayat (2) butir g).
  5. Terhadap pelanggaran Pasal 17 juga dapat dikenakan hukuman pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 48 UU No. 5/1999 berupa:
  6. pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (duapuluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan (pasal 48 ayat (1)).

Terhadap pidana pokok tersebut, juga dapat dijatuhkan pidana tambahan terhadappelanggaran Pasal 17 sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU No. 5/1999 berupa:

  1. pencabutan izin usaha, atau
  2. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun, atau
  3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

    Pasal 12 menyatakan besaran denda minimal Rp 1 miliar tersebut merupakan denda dasar dan pengenaan tindakan administratif berupa denda oleh KPPU dilakukan berdasarkan ketentuan yaitu paling banyak sebesar 50 persen dari keuntungan bersih yang diperoleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang. Penetapan sanksi administratif tersebut juga dilakukan paling banyak sebesar 10 persen dari total penjualan pada pasar bersangkutan selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang.

    Ketentuan besaran denda ini berubah dibandingkan sebelumnya. Seperti diketahui, besaran denda bagi pelaku usaha yang melanggar Undang-undang 5 Tahun 1999 tentang Anti-Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat minimal Rp 1 miliar sampai maksimal Rp 25 miliar. Sementara itu, UU Cipta Kerja menyatakan besaran denda minimal Rp 1 miliar tanpa mencantumkan denda maksimal.

    Lebih lanjut, penentuan besaran denda tersebut didasarkan pada dampak negatif yang ditimbulkan akibat pelanggaran dan durasi waktu terjadinya pelanggaran. Besaran denda juga mempertimbangkan faktor yang meringankan dan memberatkan serta kemampuan pelaku usaha untuk membayar.


DAFTAR PUSTAKA


Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 2016. Pedoman Program Kepatuhan TerhadapUndang – Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Preaktek Monopoli dan PersainganUsaha Tidak Sehat.https://www.kppu.go.id/docs/buku/Buku%20Pedoman%20Kepatuhan%20Persaingan%20Usaha.pdf. (Diakses tanggal 6 Juli)

Mulyani.Tri. 2018. Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Rangka Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia: Suatu Kajian Normatif. https://repository.usm.ac.id/files/research/A037/20180526112416-PERAN-KOMISI-PENGAWAS-PERSAINGAN-USAHA--DALAM-RANGKA-PENEGAKAN-HUKUM-TERHADAP-PELAKU-PRAKTEK-MONOPOLI-DAN-PERSAINGAN-USAHA-TIDAK-SEHAT--DI-INDONESIA:-SUATU-KAJIAN-NORMATIF.pdf. (Diakses tanggal 6 Juli)

Rizki. Mochamad Janua.2021.   Melihat Ketentuan Sanksi Denda di PP Anti-Monopoli dan Persaingan Usaha Tak Sehat. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt60460 4f5258a5/melihat-ketentuan-sanksi-denda-di-pp-anti-monopoli-dan-persaingan-usaha-tak-sehat/.(Diakses tanggal 6 Juli)

Komisi pengawas persaingan usaha Republik Indonesia. 2016. Daftar isi pasal 17 - Komisi Pengawas Persaingan Usaha. https://www.kppu.go.id/docs/Pedoman/Draft%20Pedoman %20Pasal%2017.pdf. (Diakses tanggal 6 Juli)

Senin, 05 Juli 2021

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT | TM 12 TUGAS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI #

 Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

Allysa Fatma Indriani




A. Pengertian 

    Persaingan Usaha di Indonesia, diatur dengan UU-RI Nomor 5 Tahun 1999, tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kata Monopoli berasal dari bahasa Yunani yang berarti “Penjual Tunggal”, di Amerika sering digunakan dengan istilah “Antitrust”, di masyarakat Eropa menggunakan bahasa “Dominasi”, dan masyarakat bisnis juga sering menyebut dengan “Kekuatan Pasar”. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang telah menguasai pasar, dimana di pasar tersebut tidak tersedia lagi produk subsitusi yang potensial, serta terdapatnya kemampuan pelaku pasar untuk menerapkan harga produk yang lebih tinggi tanpa mengikuti hukum pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.

Berdasarkan UU No 5 Tahun 1999 :

  1. Monopoli : merupakan suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha.
  2. Praktek Monopoli : suatu usaha pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebiha pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
  3. Pelaku Usaha : setiap orang perorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
  4. Persaingan tidak sehat : persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha

 

B. Azas dan Tujuan

Pelaku usaha di indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Larangan dan pengaturan tentang monopoli ini diatur dalam perundang-undangan yang berkenaan dengan monopoli dan persaingan tidak sehat. Tujuan pengaturannya adalah agartercapai keadilan dan efisiensi di pasar dengan jalan menghilangkan distorsi pasar sebagai berikut :

  1. Mencegah penguasaan pangsa pasar yang besar oleh seorang atau segelintir pelaku pasar
  2. Mencegah timbulnya hambatan terhadap entri dari pelaku pasar pendatang baru (firstentry barrier)
  3. Menghambat atau mencegah perkembangan pelaku pasar yang merupakan pesaingnya.

Menurut ketentuan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan Praktik Monopoli danPersaingan Usaha Tidak Sehat dikemukakan bahwa pelaku usaha di Indonesia dalammenjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memerhatikankeseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Adapun tujuan dari pembentukan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli danPersaingan Usaha Tidak Sehat adalah :

  1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanay kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah dan kecil.
  3. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
  4. Terciptanya efektivitas san efisiensi dalam kegiatan usaha.

 

C. Kegiatan yang Dilarang pada Anti Monopoli

1). Monopoli, beberapa kriteria monopoli :

  1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi, pemasaran barang dan jasa yang dapatmengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
  2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi, pemasaran barang dan jasa apabila :
  • barang dan jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya.
  • mengakibatkan pelaku usaha laini tidak dapat masuk dalam persaingan dan jasa yang sama.
  • satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar, jenis barang dan jasa tertentu.

2). Monopsoni, berdasarkan pasal 18 UU No 5 Tahun 1999, dilarang praktek monopsoni sbb :

  1. Pelaku usaha dilarang melakukan menguasai penerimaan pasokan, menjadi pembeli tunggal atas barang dan jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
  2. Pelaku usaha pataut diduga dianggap menguasai penerimaan pasokan, menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

3). Penguasaan Pasar.

Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat berupa :

  1. menolah dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
  2. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan.
  3. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

4). Persekongkolan.

Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU No 5 Tahun 1999 dalam pasal 22 sampai dengan pasal 24, yaitu :

  1. dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
  2. dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan.
  3. dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi, pemasaran barang dan jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau di pasok menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang dipersyaratkan.

5). Posisi Dominan.

Dalam Pasal 1 angka 4 UU No 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominant merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti, dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai sebagai pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar

 

D. Perjanjian Yang Dilarang Dalam Anri Monopoli

1). Oligopoli (Pasal 4):

  1. Perjanjian yang Oligopolistik, Pelaku usaha dilarang membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain secara bersama-sama untuk menguasai produk atau pemasaran barang atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 4 Ayat 1).
  2. Dugaan Perjanjian yang Oligopolistik, Untuk mengetahui apakah melalui suatu perjanjian yang dibuat oleh para pelaku usaha akan menguasai produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu atau tidak, maka ditentukan apa yang disebut dugaan melakukan oligopoly, yakni apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar suatu jenis barang atau jasa tertentu (Pasal 4 Ayat 2)

2). Penetapan harga (Pasal 5 s/d 8)

  1. Penetapan harga yang dibuat secara bersama-sama oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya. Alasan pelarangan, dapat mengakibatkan konsumen atau pelanggan harus membayar harga yang ditetapkan untuk barang atau jasa tertentu (Pasal5Ayat1).
  2. Diskriminasi harga Maksudnya penetapan harga yang berbeda-beda yang harus dibayar oleh para pembeli atas barang yang sama atau jasa yang sama (Pasal6).
  3. Penetapan harga dibawah harga pasar. Penetapan harga dibawah harga pasar dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat (Pasal7).
  4. Penjualan kembali barang atau jasa dibawah harga yang telah ditetapkan. Maksudnya penerima barang atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang diperjanjikan. Ini berarti penerima barang harus menjual atau memasok kembali barang atau jasa sesuai dengan harga yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha tersebut (Pasal8)

3). Pembagian wilayah (Pasal9)

Misalnya perusahaan A hanya boleh memproduksi dan memasarkan barang di daerah X, dan perusahaan B hanya boleh memproduksi dan memasarkan di daerah Y (Pasal 9)

4). Pemboikotan (Pasal 10)

  1. Menghalangi pelaku usaha lain untuk masuk kedalam pasar (Pasal 10 Ayat 1).
  2. Menolak menjual barang atau jasa pelaku usahalain (Pasal 10 Ayat 2)

5). Kartel (Pasa l11)

Perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya dengan maksud untuk mengatur produksi dan pemasarannya atau untuk mengatur pelayanan jasa tertentu (Pasal 11)

6). Trust (Pasal 12)

Pembentukan suatu gabungan baru. Pelaku-pelaku usaha yang membentuk suatu gabungan perusahaan tersebut tetap mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroannya, dengan maksud agar mengontrol produksi dan pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan munculnya praktik monopoli.

7). Oligopsoni (pasal 13)

  1. Penguasaan pembelian atas barang atau jasa tertentu.
  2. Dugaan pengusaan pembelian atau barang atau jasa tertentu.

8). Integrasi vertikal (Pasal 14)

Yang dimaksud di sini adalah perjanjian integrasi vertical yang dibuat oleh para pelaku usaha dengan maksud untuk menguasai proses pengusaha/proses produksi dari hulu sampai ke hilir

9). Perjanjian tertutup (Pasal 15)

  1. Pembatasan pemasokan barang atau jasa tertentu.
  2. Pembatasan pembelian barang atau jasa.
  3. Pembatasan pembelian barang atau jasa karenaadanya potongan harga atas barang atau,jasa tertentu

10). Perjanjian dengan pihak luar negeri (Pasal 16)

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri apabila isi perjanjian tersebut akan mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat misalnya dapat memunculkan praktik monopoli.


DAFTAR PUSTAKA

 

V-class Gunadarma. 2020. Anti Monopoli Aspek Hukum dalam Ekonomi. https://v-class.gunadarma.ac.id/pluginfile.php/1113214/mod_resource/content/1/Anti%20monopoli.pdf. (Diakses tanggal 05 Juli 2021)

Afifah.Maharani.2018. Antimonopoli Perdagangan Dan Persaingan Tidak Sehat. https://www.academia.edu/37900215/antimonopoli. (Diakses tanggal 05 Juli 2021)

Nurfachrizi.Fair. 2015. Hukum Persaingan Usaha.  https://www.slideshare.net/FairNurfachrizi/hukum-persaingan-usaha. (Diakses tanggal 05 Juli 2021)

Anwar. Naufal Zein. 2017. Asas dan tujuan anti monopoli (BAB 12). https://id.scribd.com/presentation/348911642/Asas-dan-tujuan-anti-monopoli-BAB-12-pptx. (Diakses tanggal 05 Juli 2021)


PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI | TM 14 TUGAS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI #

  Penyelesaian Sengketa Ekonomi Allysa Fatma Indriani A. Pengertian Sengketa Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak y...